Ini adalah pagi yang dingin dan suram oleh hujan. Angkot yang saya tumpangi ternyata bannya kempes, sehingga para penumpang harus oper ke angkot lain. Menunggu datangnya angkot di bawah rinai bukanlah hal favorit siapapun di tengah cuaca seperti ini.
Alhamdulillah angkot pun datang. Seorang ibu yang sudah cukup sepuh menatap saya sedari saya naik hingga saya duduk di pojok angkot yang masih lumayan kosong. Mungkin saya nampak over dosis manis dibalut over coat bin jaket-penangkal-hujan-kelewat-guede yang saya samber dari 'tetangga' saya ini. Entahlah. Saya sendiri merasa sedang kembali ke masa-masa berkuliah di Bandung, yang tak pernah lepas dari jaket gembung.
Setelah saya perhatikan, Sang Ibu ternyata pergi tak sendiri. Seorang bapak yang lebih sepuh dari beliau nampak di sebelahnya. Saya duga beliau adalah suami beliau (pusing kan? Hayo?)
Entah mengapa, melihat pasangan senior ini menimbulkan perasaan lain di hati saya. Entah apa namanya, tak tahulah. Mungkin haru. Mungkin kagum. Mungkin penyakit melow-ketika-pagi-hujan saya kumat. Mungkin. Yang jelas, beberapa saat kemudian, mereka bergeser ke arah pintu, seiring dengan naiknya penumpang baru yang memadati angkot. And you know? Tiba-tiba ibu itu membentangkan payung kembang-kembangnya. Untuk melindungi tubuh Sang Bapak dari tempias hujan yang masuk dari pintu. Begitu. Hanya sebuah tindakan kecil. Namun membuat saya teringat pada puisi paten empu Sapardi J.D. Dan saya tak tahan untuk tidak mengocehkan hal ini dengan kalian.
__katakecil di bawah hujan kecil
Pagi Januari ke-9 di 2013
No comments:
Post a Comment